PENGLIPURAN-BANGLI

PENGLIPURAN-BANGLI
DESA BALI AGA

Kamis, 22 Desember 2011

Apa salah dan dosaku, Mama.

Mungkin kalau kamu tinggal di hutan kamu bisa hidup sesukamu. Tak perlu memikirkan pendapat orang lain. Mungkin kalau kamu hidup sendiri di dunia ini, kamu tak perlu malu. Apa kamu sadar telah membuat orang tuamu malu. Wanita belum menikah seumur kamu itu aib! Aib keluarga. Mama malu!

Apa salahku Ma, kalau umur segini aku belum menikah? Apa salahku, kalau sampai hari ini aku belum ketemu yang cocok? Apa salaku, kalau aku masih sendiri? Toh aku tidak mencuri, aku tidak merampok, aku tidak membunuh sampai Mama malu karena aku. Apakah menjadi jomblo itu melanggar hukum? Kenapa Mama menganggap itu aib?

Air mata Rhena mengalir tak tertahankan lagi. Mama bungkam seribu bahasa. Rhena tertunduk. Tak ada maksud ingin membantah Mama seperti itu. Dia terbawa emosi. Dia sudah tak kuat lagi menerima perlakuan tak adil seperti ini hanya karena adik tengahnya telah menikah lebih dulu. Mama selalu memperlakukannya seakan dia adalah kesalahan dalam hidup Mama.

Rhena mengambil kunci motor dan mengenakan helmnya kemudian pergi membawa 'jupe'. Dia tak tahu harus kemana. Tak punya tujuan. Hatinya sakit. Otaknya tak mampu lagi berfikir dengan baik. Sepanjang jalan air matanya mengalir tak henti. Dadanya terasa sesak karena Rhena menahan tangisnya. Dia terus berusaha menahan tangisnya agar tak pecah. Hanya air mata. Ya hanya air mata yang tak terbendung lagi.

Awalnya hidup Rhena baik-baik saja. Dia jalani hidupnya dengan baik dan santai. Beberapa kali Rhe, begitu dia biasa dipanggil, dekat dengan seorang cowok. Namun hubungan itu tak pernah sampai seumur jagung telah berakhir. Rhe sadar, mungkin memang bukan jodohnya. Sejak itu, dia tak lagi bersusah payah mencari cowok hanya untuk sekedar pacaran yang tak ada ujungnya. Dia lebih perfikir untuk mencari cowok yang punya tujuan yang sama dengannya yaitu menikah dan memiliki keluarga kecil yang bahagia.

Namun, Tuhan belum memberinya petunjuk ke arah itu. Dia bahkan hanya menemukan kekecewaan yang panjang dalam pencariannya. Selalu berakhir kecewa dan sakit hati. Tapi toh Rhe masih percaya dan yakin jika nanti akan ada laki-laki terbaik yang Tuhan kirim untuknya sebagai jodoh terakhirnya dalam hidup yang Rhe jalani. Hanya saja kapan, itu yang Rhe tak pernah tahu.

Setiap hari Rhe membunuh rasa gelisahnya dengan bekerja dan terus bekerja. Pekerjaannya memang tak mapan karena dia hanya tenaga outsorsing di sebuah instansi pemerintah, namun setidaknya Rhe merasa bersyukur, pekerjaannya bisa menghiburnya dan juga bisa menghidupinya walaupun dia masih tinggal menumpang dengan orang tuanya.